Kamis, 13 Desember 2007

GURATAN 13


Dear Diar,

Selamat malam, Teh !
Malam ini adalah malam ke 420 aku merindumu. Rindu panjang dan melelahkan. Aku tak dapat menyederhanakan fikiran dan hatiku sekalipun dalam tawa dan kepura-puraan. Pemalsuan yang membosankan dan mulai terasa menjijikan. Aku sangat merinduimu. Maafkan aku. Maafkan kalau hal ini menganggu ketentraman istirahatmu.


Teh, malam ini, di malam yang panjang ini, datanglah sejenak kedalam mimpiku. Melunasi candu rindu yang kering pekat dan lekat. Sungguh aku sudah tak berdaya, dikejar bayang-bayang kerinduanku sendiri.


Selang kususun bagian-bagian hariku dalam bingkai waktu, tak kupahami lagi tanda-tanda zaman yang mengungkap keberadaan kita, atau sertamerta menguak tabir-tabir misteri di labirin kelam dinding -dinding kehidupanku. Walau senja yang turun kini telah mengirim gerimis ke permukaan tanah kering gersang, tapi di kejauhan, dibalik kelam, tampak hujan dan pancaran kilat halilintar menyambar-nyambar kota. Kini, ... aku semakin mencintai hitam, seraya berdoa :


Tuhan
Beri aku tenaga. Saat ini dayaku kehilangan cahaya. Bagai api lilin yang kehabisan sumbu, redup dan lenyaplah pelita ku. Aku berada dalam kegelapan nisbi belaka.


Tuhan
Beri aku tenaga. Saat ini fikiranku kehilangan nalar. Bagai hantu yang tentakelnya menjalar, jerat dan mengikat gerakku tanpa tindak. Aku berada di pusingan takdir diamnya batu.


Tuhan
Beri aku kompas. Saat ini mata-angin telah berubah. Bagai pengetahuan yang hilang arah, ia dekap aku dalam kedunguan. Aku terjebak dalam waktu yang tidak berjalan.


Tuhan
Berilah aku waktu. Tak gunalah aku jika Kau tak gunakan. Jadi Khaidir atau jadi Fir’aun, jadi Ghandi atau jadi Hitler. Kembali ke fitrahku yang Kau rencanakan.


Andai aku tak guna lagi, ya Tuhan...dalam sujudku.... kembalikan aku ketempatMu. Di tempat yang sama. Di sisi sang istri, sang permaisuri…......




Kelelahan berkubang dalam kelam,
-.Swamimoe.-



Jumat, 07 Desember 2007

GURATAN 12

Dear Diar,

Selamat Dini Hari Sayang,…

Happy B’Day Teteh… dengan sekuntum bunga malam ini, mas menyalakan lilin untukmu.. tapi maaf, tanpa cake tanpa makanan dan tanpa minuman. Juga tanpa musik dan ajakan dansa, yang kemudian berakhir di suasana yang paling mesra. Aku hanya rayakan ulang tahunmu sendiri. Semoga kamu juga hadir disini, teh. Paling tidak, itulah harapanku saat ini. Menikmati kesunyian malam dan lantunan doa-doa. Nanti siang, aku akan menyinggahi rumahmu, mengganti pelepah kuntum-kuntum bunga kemarin yang telah kering dengan kuntum-kuntum bunga baru. Semoga doa yang kutitipkan pada pelepah dan kuntum bunga segar itu sampai dengan segera dan bisa membuatmu nyaman dan bahagia disana, di hari ulang tahun mu. Oh ya, akan kumandikan tanahmu dengan Air Yasin…atau Air ayat kursi. Semoga getaran energiku bisa menyejukkan ‘tempat’mu membasuh tubuhmu dan menyemerbakkan harumnya ‘bilik’ penantian itu.


Kuharap hukum kekekalan energi Einstein itu menjadi salah satu bukti nyata bahwa energi doa, energi niat, energi sholat dan energi segala ibadah itu adalah bukan kerja sia-sia…


Malam ini aku membersihkan pintu dan kesetnya, merapikan tempat tidur dan bantal gulingnya… membersihkan segala piring dan gelas… untuk menyamankan mu jika kamu singgah kerumah… ke bilik kita. Hari ini memang sepi… Firman tengah sibuk menyusun hatinya sendiri, merangkai puzle waktu masa depan cintanya. Karena itulah ..aku menunggumu.. menunggu sang waktu sedari tadi.. menunggu hitungan mundur pukul 00.00 tiba, dan …. Hip hip huraaa ………


Mohon jangan ada air mata, jangan ada duka… kelam malam dan warna hitam asesorisku ini bukan tanda lara yang nestapa seperti anggapan sebagian orang… Ia hanya sekedar ketidak-tahuan dan keasingan.. maka biarkan ia menjadi misteri .. sehingga memudahkan kita melihat ‘penerangan’Nya, jika ia datang sewaktu-waktu tak terduga. Bukankah kini ‘hitam’pun juga menjadi warna alammu ?? Hmm, aku masih tetap lugu dan tergugu memahaminya. Maaf kan aku Teh… Maafkan karena terbiar kau terlalu lama menunggu..mungkin dalam galau, dalam gelisah dan takut. Maafkan terlalu lama ku temukan celah yang kuyakini sebagai lubang kecil di dinding pembatas antara ruang kita. Tempurung abadi kita dan hantu penantian kita. Hampir di setiap celah yang nampak ku sisipkan berbagai pesan dan bingkisan, kualiri dan kubasuh dengan doa, dan ku asapi dengan mantra, seraya kuharapkan aliran air doa dan asap mantra itu mengantarkan niat pesanku & bingkisanku padamu. Tolong kau sambut dan beri tanda, agar aku yakin celah mana yang bisa kita percaya … dan menjadi ‘permainan’ baru kita…


Ah.. Jangan kau tertawakan aku, hanya karena purnama yang acap kau tunjuk sebagai penerang yang indah itu tak hadir di kamar hati kita saat ini. Aku percaya Allah menciptakan semua ini dengan begitu sempurna.. dan selalu memenuhi hukum penciptaanNya. IA tak pernah menarik balik janjinya hanya karena kehabisan kesabaran, dan memberikan pengecualian berat sebelah.. HukumNya adalah runutan logis peristiwa yang tak terbantahkan.. Kekeliruan tetap ada dalam persepsi dan anggapan kita saja, sebagai manusia yang alpa dan diciptakan pelupa.


Sementara ini, dengan keterbatasanku, terimalah semua ini dengan santunmu yang selalu kupuji. Sambutlah aku, teh. Kamu sungguh tak pernah berubah dan selalu ada. Selamat Ulang Tahun……




Cium Kecamuk Rinduku dlm penantian,

-.Swamimoe.-

Selasa, 20 November 2007

C I N T A M U


aku bisa lihat dan rasakan
kadang kau mengintai di lipatan awan
aku bisa lihat dan rasakan
kadang kau sembunyi dibalik rembulan
dan memuji sgala limpahan keindahan

ketika semilir angin yang menyapa
membawa sejuk embun subuh tiba
aku terhenyak dalam diam dan lantunan doa
dan suasana mantra mencekam seluruh jiwa

tapi sekarang
di keheningan nyanyian hutan
tak kulihat awan dan rembulan
kemana perginya tuan ?
apa yang berlaku disana gerangan ?
disaat aku sungguh tiada harapan

aku sangsi...
ku sangat kehilangan
kehilangan wajahmu yang hadir di awan
hilangnya senyumu di balik rembulan
yang cahyanya terangi tiap langkah jalan
sewaktu kita melintas bergandengan

kamu betul, kamu betul
cinta mu terus ada
menerima segala kekuranganku

dan saat ku kehilanganmu
cinta mu terus ada
membasahi setiap kesepianku



Sabtu, 10 November 2007

Guratan 11. Terus Belajar

Dear Diar,


Salam kerinduan lagi, sayang…

Sebenarnya aku tengah gelisah karena terlalu lama tak temukan sela atau celah pada dinding-dinding pemisah kita. Aku tau kau menunggunya di lintang bidang sebelah dinding ini. Menatap bidang kosong dan kesunyian.. Aku harap kau beristirahat dengan perasaan tenang.. atau jika kau lakukan hal yang sama denganku, lakukanlah dengan riang dan suka cita.. Bagai sebuah hobby yang tak mementingkan hasil, tetapi menyintai prosesnya, aktivitasnya. Jika Tuhan kehendaki, maka kita akan bertemu juga. Berdoalah dan minta selalu hal itu.


Oh ya, adakah kau terima bingkisan-bingkisan doa dan niat energi kerinduanku yang ku poskan melalui pelepah-pelepah basah kuntum bunga-bunga segar yang ku kirim setiap 2 atau 3 hari sekali ? Aku belum mampu mengirimkan paket-paket besar dengan kontainer anak yatim dan orang jompo. Atau kontainer taman kanak-kanak Islam yang selalu kau rindukan kalau rangkai rajutan impian ini sudah mendekati final. Walau kamu berada dalam daerah penantian di seberang dinding ini, tetap akan ku patri dan kulekatkan kontainer-kontainer itu hingga ia menembus dinding dimensi kita ini. Karena itu tenanglah kamu menanti, dan jangan beranjak jauh dari pintu perpisahan kita itu.


Aku masih gamang dan sibuk mengendalikan kayuh dan layar-layar biduk kehidupan kita tanpamu, teh. Malah kini, menggunakan alat-alat unik asing yang lengkap dengan nilai-nilai baru yang patut ku pelajari untuk tetap mampu melayarkan biduk ini sampai ke tepian dermaga harapan. Tanpamu memang biduk ini terasa sunyi dan lengang. Kelucuan-kelucuan tingkah laku bahtera ini mengarungi gelombang sepi memaksa aku untuk geli dan tertawa sendiri. Entah mentertawakan kehidupan atau mentertawai diri sendiri. Dendang-dendang mu ketika bersenandung mengerjakan sesuatu, tak pernah ku dengar lagi. Tapi nada dan getar suaramu masih kurawakan.. Aku begitu takut, jika getar gelombang itu semakin lama semakin lirih melemah, seperti riak air di danau yang semakin jauh maka semakin menipis.


Sejak beberapa waktu yang lalu, setelah kepergianmu, Eka sering menghubungiku, berbincang dan juga menceritakan tentangmu. Ada juga berapa teman yang tetap setiap ‘menziarahi’ memori-memori tentangmu, tetapi sebagian besar lainnya memang dijebak dengan perangkap dunia dan terali penjara lingkungan. Ya, kenangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan hari ini…selebihnya kealpaan.


Aku juga menyibak lembaran-lembaran syair langit di mayapada atau catatan-catatan kitab suci. Seperti kata pepatah, alam terkembang jadi guru, maka kita mencoba berguru pada yang Satu. Namun semakin kita mencoba memahami hidup maka semakin jauh kita dari mengerti, serta semakin kecil dan sederhana apa yang kita ketahui. Mungkin, mati adalah proses memahami hidup secara keseluruhan dan sempurna. Agaknya kamu telah lebih dahulu tahu dan memahami hidup secara hakiki. Kalau saja iya, kabari aku segera, dan berikan tanda-tandanya. Ok ? Bravo !!



Butiran embun rindu renyah,
-.Swamimoe.-


Jumat, 19 Oktober 2007

Guratan 10

Dear Diar,

Selamat pagi, Sayang !

Seharian ini aku hanya mampu mengingatmu. Semalaman ini aku sungguh-sungguh merindukanmu. Janganlah engkau terganggu dan menjadi tidak nyaman karena ulahku itu. Bagai gerak alur reflek, aku tak dapat mencegah letupan kerinduan menggejala bersama waktu. Juga seperti panggilan insting bintik bintik air menggenangi penglihatanku. Aku memang tergantung padamu teh..

Teteh..
Sumpah, Aku gelisah
Kerinduan ini menggelegak menekan
Semua mendekam dalam
......dan tak mampu kutahan
Sampai diriku sendiri hilang
…..dari kumpulan ingatan


Dengan segala rindu parah,
.-Swamimoe.-

Rabu, 17 Oktober 2007

DIAM DALAM GERAM



aku tegak di muka bilik pusara
terdiam tak kuasa mengata
tak cukup kata untuk bicara
tak sanggup mengurai cerita

aku memang masih tegak terdiam
sebagian dalam makna bait-bait doa
sebagian dalam mantra
tapi sungguh itu tidak berarti perkasa
diam-diam juga bukan karena terpaksa
sejak langit mendung mentari buram
anganku pecah hati terbelah
rasa tumpah perkara lumrah

ketika tungkai lengan asaku coba merengkuh waktu
seketika hadir bayang-bayangmu bantu menyangga
oleng-oleng bahteraku diguncang keping-keping lara
tapi separuh tulangku membenam bersamamu
ke dunia tanah

aku memang diam tenggelam sendirian
paras air mata hari sudah hitam
hingga tak mampu mengukurmu di berapa dalam
ku gapai-gapai hari-hari kusam

hari ini
detak harmoni melodi nafasku legam
dilantun hiruk deru mesin geram

......

Minggu, 09 September 2007

Guratan 9

Dear Diar,


Selamat malam, Sayang !

Semalam adalah kali pertama aku mencoba menulis SMS ke segenap famili dan handai taulan untuk menyambut Ramadhan tanpa membubuhkan namamu. Masih ku ingat lirih suaramu menegurku, “Jangan lupa Mas, …sertakan aku di setiap pesan yang kamu sampaikan kepada orang yang kita kenal …!”.


Pagi ini, kali pertama aku gamang menuliskan pesan-pesan itu. Serasa kau masih tetap menemaniku disini. …. Begitu lekat menemani, sehingga tercetak huruf-huruf yang terakhir …. dan tetap…tetap aku tak ingin berhenti…. menuliskan namamu…. “+ t e t e h” selamanya..



Semat rinduku bergolak gelisah,
.-Swamimoe.-

Jumat, 31 Agustus 2007

Guratan 8


Dear Diar,

Selamat Malam, Sayang !

Dua bulan ku coba tak menulis untukmu. Kata sebagian orang, Kutahan hasrat itu agar aku tak hanyut dalam lingkaran perasaan yang tak mampu ku kuasai. Bagi orang lain, akulah yang sengaja memelihara kesedihan ini.

Tujuh belas Agustusku bergaung di lantun gebu irama sunyi, tetapi tak urung tetap saja menghantar ingatanku pada peristiwa setahun yang lalu. Kehadiranmu di dewan Kolej Telekom, yang dengan sengaja kita hadiri karena didada tetap terselip semangat dan kecintaan kita pada tanah air, tanah kelahiran, tanah bunda mengandung, tanah dimana ayah mengajarkan bagaimana bersikap, tentang kebenaran dan kesesatan, tentang gelak dan gelut anak bangsa. Bahkan juga tanah harapan, tanah cita-cita kita yang tak mungkin lagi wujud dengan selayaknya, selamanya. Dan kini bahkan semakin jauh dari kemungkinan jasad tanahmu kembali ke tanah cita-cita itu. Apapun namanya, atas dasar keyakinan apapun, dan dengan alasan agama apapun, bagiku tetap menyakitkan. Dan sekumpulan kalimat pedas yang pernah terlontar panas ditelingaku tepat disaat peristiwa itu berlaku, sampai saat ini masih saja tak berkurang rasa ngiang panasnya, walau bergalon air kulintaskan menyapu bersih perasaan itu, namun bagiku, hanya Tuhanlah yang tahu dan hanya Tuhanlah yang mampu berbuat semua itu. Tiada sesiapapun yang mampu mencegah terjadinya semua rencanaNya itu.

. . . . . . . . . .

Tiga puluh satu Agustus aku di lamun ombak di laut keringku… tiada lagi bunyi debur dan gemericik selisir air di pantaiku, tiada lagi semilir desir angin yang menyapu polusi di udaraku, dan tiada lagi segenap kehangatanmu yang mengusir kegelisahan hari-hariku, yang menghalau galaunya gurauan waktu, mencabut sengatan rindu di setiap sisi-sisi malam yang mengganggu. Teteh, Aku sungguh-sungguh kehilanganmu ! Kehilangan yang membuat pikiran positifku terhalang dan terpasung dalam tenggang waktu yang cukup untuk mengubur personaliti.

Oow setapak lagi bulan Ramadhan itu kembali. Ia resmi akan menggenapi bulan pemasunganku sepanjang masa sepanjang zaman, dimana doa, kerinduan, kenangan, dan duka menjadi racikan sinergi hidangan yang mengisi setiap pori-pori tubuhku, membasahi setiap lajur jalur di selang aorta jantungku, selama rentang masa sahur dan berbuka, sejak dari persiapan hingga lebaran, jentik jemarimu tetap terjaga menyadarkanku kala terlelap sahur. Manis suaramu tetap merdu ditelingaku mengingatkanku berbuka kala magrib menyapa, dan selalu terjaga melantunkan doa dan ayatNya selepas Isya….

Oh ya, …
Yang tak kan pernah dapat aku lupa, kau lah yang merangkai segenap doa, sehingga menjadi harapan dan cita-cita.

Tetapi, maafkan aku dinda, jika gundukan tanahmu telah menimbun segala kepercayaan tentang harapan dan cita-cita itu, tonjolan pusaranya menjadi sandungan selaksa kati sukma ku yang selalu liar dan merdeka.

Maafkan aku, jika di tanah itu, di tanah yang kupijak ini,… kini terukir berjuta keping kenangan tentangmu, tentang kita, …dan sebidang sisa ruang kosong bagi keping-keping peristiwa yang belum lagi usai…. Keping yang tak kan pernah mengenal selesai. Keping-keping kenangan itu telah menjadi pasak yang menghujam dalam ke perut bumi, yang tersambung utuh ke rantai pengikat pergelangan-pergelanganku. Aku masih belum mampu kendalikan debur ombak dipantai kalbu yang tak beraturan itu.

Teh, telah ku coba “mewajarkan” kepercayaanku agar diterima secara sosial sehingga kehidupan boleh dilanjutkan seperti sediakala, seperti tak pernah terjadi apa-apa, seperti perputaran roda yang menyebabkan ‘aus’nya engsel pergelangan putarnya… lalu serta merta di ganti untuk menjaga kelestarian “perputaran” roda itu. Selesai. Begitu saja !! Cerita tetap berlanjut di “perputaran”, sedang selebihnya adalah asesoris yang punah. Tapi apa layak pemahaman itu, jika jiwa menjadi asesoris yang punah semata-mata demi perputaran dan perkitaran roda kehidupan ini ? Daya hidupku menolak untuk begitu.

Mungkin aku terkesima saja pada dongeng-dongeng mitos, hikayat, atau angan-angan manusia berabad tentang nilai-nilai luhur atau agama,… pada kharisma, …pada tegaknya amanah teguh semangat, …sampai pada periode ini berjuntai, … periode yang kuanggap sebagai hasutan-hasutan iblis yang membisikan kebenaran-kebenaran palsunya yang begitu nyata, logis dan tak terbantahkan… yang merasuk dalam pikiran dan keyakinan-keyakinan manusia, yang berhasil memberikan keunggulan sesaat kepada pemeluk-pemeluknya… walaupun akhirnya mereka terhenti di simpul yang tak terjelaskan, yang saling menghancurkan dan menyerah di batas kenikmatan fisik sebagai langkah ”penyelamatan”.

Aku gamang, keyakinanku goyang, sebab bagiku “perputaran” roda itulah hawa nafsu yang sepatutnya ku jihadi,… sedangkan persepsi kenyataan menawarkan makna yang bertentangan. Bagai mempertahankan tegaknya pilar penyangga ‘surga’, mereka menjaga ‘perputaran’ roda itu. Padahal peran kita adalah menjaga yang berputar. Dan bagaikan tawaf, setiap kita, hanya tenggelam dalam siklus ‘perputaran’ abadi rodanya.

Walaupun membuatku goyah, tapi masih saja kuharap semua itu adalah gelagat yang dapat kucerna dan kunikmati, seperti gelitik di kerongkongan yang sesekali membuat batuk, atau gatal yang sesekali ingin digaruk. Tanpa keistimewaan, tanpa perlu dibesar-besarkan, tak ada utopi luar biasa ataupun cita-cita palsu. Sepertimu, aku tengah belajar bersyukur, memulangkan itikad pada hakikat, kemudian menjaganya dan mengelola. That's all !

Nah, kembali padamu ! Kekasihku yang nun di lintang & bujur berbeda, kadang aku rindu percakapan kecil kita tentang laut. Berkali-kali kuingat bagaimana bidukmu menjadi sebuah bintik sebelum benar-benar hilang ditelan cakrawala, dan aku jadi betul-betul sadar bahwa lembar-lembar almanak selalu menitipkan banyak makna. Walau detak duka dan kesedihan yang kekal ‘menyetani’ kita, tapi tetap kita dicipta sebagai layar yang tak pernah berhenti menyusur perjalanan cari, menjaga segala persesuaian dan membuat perimbangan. Itu juga menjadi asesoris abadi kehidupan kita, bukan ?

Sesaat setelah keberangkatanmu dulu, aku puputkan segenggam doa tanpa limit pada angin, dan juga sematkan taburan harap tak terkira untuk dirimu, untuk kita. Lalu nanti, ketika tepat disetiap tanggal kepergianmu ini, akan selalu ingin kusampaikan kembali kepadamu, … sebetulnya kepada diri kita juga, selayang ingatan anniversary atau ulang tahun perpisahan sementara ini dengan ucapan; “Selamat melepas ikatan bendung, mengangsur kayuh menghadang tarung, menuju kehidupan abadi yang selalu didengung, di palung misteri yang penuh relung. REBUTLAH SURGA ITU !”



Semat rinduku basah semangat,
.-Swamimoe.-


Minggu, 01 Juli 2007

PARA PECINTA



aku bukan pecinta dunia
tak perduli kita berada dimana
semua tempat semua kondisi rasanya sama
selama kamu tetap berada ditempatnya
disisiku

aku juga bukan pecinta hidup
yang memuja denyut nafasku yang tersisa
setelah segala peristiwa terjadi
satu-satu ku sadari semua pasti akan pergi
tanpa sesuatupun dapat kuketahui
ku kenal pasti
disisimu

masih karena Diakah kita kesisiNya ?

Jumat, 22 Juni 2007

K E N A N G A N



K’tika semua kenangan terpapar jelasnya
kulihat kau melintas dibalik riak air mata hari
yang mengalir teratur di tiap ingatan terjaga
biarpun tersenyum …
wajahmu mencibir pada keberanian dan keyakinan
yang selalu ku ikrarkan sebagai benteng terakhir
milik kita yang ternyata keliru

Tanpamu,
pengalaman adalah himpunan kenangan menyakitkan
dan aku kehilangan diriku
setelah ternyata tiada satu kenyataanpun yang nyata
terlalu menyakitkan

Senin, 11 Juni 2007

Guratan 7



Dear Diar,

Selamat pagi, Neng.

Bagaimana khabarmu, sayang ? Semakin nyamankah tidur panjangmu saat ini ? Ku harap tiada sesuatupun yang datang mengganggu, mencuri gulingmu yang biasa kau dekap pengganti diriku, atau bantal yang tak pernah kamu pakai bila terlelap. Ihh, kamu selalu menarik lengan ku dan ‘membantalkan’nya hingga kebas kesemutan, ingatkah kamu ? Tapi, selalu saja aku suka kamu perlakukan begitu, sehingga mega fajar menjelang tiba. Peristiwa-peristiwa kecil dan sederhana yang mustahil aku lupa !.

Hingga pagi ini, ketika tadi terjaga dan kulengkapi keping demi keping kesadaranku sempurna, masih saja kudapati duka itu menetap memelukku, menggantikanmu, menyelimuti. Baru malam tadi aku boleh tidur pulas setelah dua hari dua malam aku tak bisa tidur. Mengerjakan bagian-bagian thesisku yang harus ku serahkan kemarin kepada penyeliaku. Ternyata banyak sekali detail-detail yang tertinggal selama ini. Progressku yang begitu lambat. Seakan hampir-hampir aku berlari di tempat. Pasti kamu tak mengharapkan hal itu, tapi begitulah aku. Gambaran kernyit di keningmu tampak jelas begitu dalam. Namun senyummu tak pernah hilang.

Kau begitu mengenalku lebih baik dari aku sendiri, terlebih kala aku diradang nafsu dendam terpendam. Seperti permainan puzzle yang memabukkan, melupakan segalanya, aku asyik memutar dan membolak balik keping puzzle itu dengan imajinasi rumit ‘mewujudkan detik-detik penghancuran itu’ agar tetap selalu berada didalam bingkai puzzle berkenaan. Hahaha, kadang ketika kesadaran religiku hadir, aku merasa begitu ngeri dengan ‘degub kesunyian’nya, sunyi tak bertepi. Percayakah kamu ?

Gangguan fikiran dan perasaanku terhadapmu tak selalu bisa ku jinakkan. Ia begitu liar bagai pecahan partikel uranium yang melebur dalam proses fusi nuklir suhu tinggi. Itupun gagal ku siasati menjadi daya dorong katup-katup listrik syarafku yang menggerakkan tenaga produktif tubuhku menyelesaikan thesis secepat mungkin. Sungguh, inilah kebodohan kesadaranku yang selalu jadi ‘benar’ !! Tapi sungguh, sayang !. Inipun bukan suatu alasan untuk menyalahkanmu. Bahkan tiada bintik khilafpun yang sempat kamu bubuhkan. Semua begitu sempurna. Kuharap jangan membuatmu bersedih atau merasa tersudut. Itu hanya sekedar letup rasa rindu ku yang tak tahu harus kutuangkan kemana. Dan seperti kataku sebelumnya, perasaan rindu adalah cinta yang berjarak. Dan aku, tak pernah mampu merapatkan jaraknya.

Minggu belakangan ini, aku acap ditemani seorang kawan lama di kejauhan. Sahabat masa kecilku, masa unik tempo kita belum mengenal derita. Entah kenapa Tuhan mengirimkan silaturahminya, sementara yang lain menyusun jarak dengan rapih dan membangun barisan. Aku berusaha menjadi penonton, paling tidak penonton yang menyaksikan dan mencoba memahami pekerjaan Tuhan yang sedang berlangsung.

Sungguh Tuhan,
Engkau maha kuat,
sedang aku papa dan lemah
hidupku hanya apa yang Kau bagi-bagikan
aku tak mampu mengubah
atau sedikit menggeser bagian yang terkecilpun
dari Karya Besar rencanaMu.

Sungguh Tuhan,
aku tak pernah sanggup
walau sekadar mengambil peran sederhana
menjadi khalifahMu di jagat fana ini
sementara itu,
menyusun kelengkapan diri yang Kau hadiahipun
aku tak kuasa

Sungguh Tuhan,
aku tak mampu
menjunjung syukur atas segala anugerahMu
sedangkan…
merawat pemberianMu yang tersisapun
aku tak berdaya

Sungguh Rabb,
Aku tak guna jika Kau tak ingin gunakan.

…………..

Petang kemarin ku coba sesaat untuk sport. Aktivitas yang sudah berbulan-bulan tak kusentuh. Bersama beberapa teman, aku bermain squash. Gembira memang, aku dapat menikmatinya. Keberadaan teman-teman itu menggembirakan. Tapi tetap tak mampu mengusir kedukaan itu, hingga akhirnya ku pikir mungkin ia memang akan selalu melekat sepanjang sisa hidupku. Hantu sejati.

Akh !! Kembali gambaran itu muncul dan nampak begitu jelas. Vision. Apakah ini isyarat darimu atau halusinasi ? Wajahmu begitu jelas dan begitu detail. Bahkan tanda gerak-gerak halus tahi lalat di keningmu begtu jelas. Kamu merasa kehilangan dan mencari aku… itukah yang ingin kamu sampaikan, dinda ? Akupun demikian. Kini berada di ujung ambang ! Carilah cara dan bila kau temukan gengamlah tanganku sesegera mungkin. Disitu, ada sesuatu yang telah kutitipkan kepadamu. Maka rawatlah ia tanpa duka tanpa kesedihan. Tanda bahwa kita pernah ada dan tetap selalu ada, ia memenuhi ruang di segenap penjuru angin. Ingatkan itu aku selalu.


Dengan butiran rindu bertabur…,
-.Swamimoe.-


NB:

Oh ya ! Aku pernah sampaikan penantianku pada seseorang. Lalu apa kata mereka ? Bid’ah … ha ha ha Bahkan airmataku bid’ah pula ! Apa hak mereka memasung pandangan mereka sendiri, sementara Tuhan mereka menganjurkannya ! Apa yang mereka tahu tentang bid’ah ? Dasar pemuja berhala simbul yang narsis’, aku sudah ‘get out’ dari situ ! Lalu mas bilang, kalau itu yang mereka anggap kebenaran, selamat tinggal…walau belum ku temukan ‘kesejatian’ itu, tapi daya hidupku menolak ‘menetapi kejahiliyahan’. Aku musti ‘hijrah’ ! Setuju ?