Rabu, 15 Juli 2009

Guratan 22 : S E R I B U


Selamat Malam, belahan jiwa yang berbaring tenang di dimensi hawa, dimensi udara. Semoga kau selalu damai dalam penantian.


Temaram suasana malam ini cermin kembar kemurungan jiwaku. Digenapi doa-doa yang membawa sarat pesan melantun kelangit mencari muaranya di pangkuanmu. Aku kini semakin tersiksa. Seribu hari kehilanganmu telah menjadi seribu ekor kuda yang menarik tubuhku kesegala penjuru arah. Telah ku coba berbagai cara menapaki tanah bumi merah rekah yang pecah, tapi tak pernah bisa menjadi biasa. Tetap saja dadaku ditusuk-tusuk kesepian dan ditikam sangsi. Kegelisahan kerinduanku telah menjadi serigala malam di hutan dadaku yang liar mengerang. Laung lolongnya yang panjang melintasi pekan dan padang, menelusuri rencah kesunyian liuk sungai ke hulunya, menembusi lorong-lorong gua kapur, membentur dinding cadas tebing ngarai yang tinggi dan terjal. Ia menerjang apa saja yang menghalang. Dirobek-robeknya semua selaput-selaput dadaku untuk merampok hati. Tetesan tetesan darah memancar segar dari rongga yang telah porak poranda. Kini tinggallah kosong yang gelap, tapi sia-sia kerna ia tak mengisi apa-apa. Sepenggal peristiwa yang berjalan tak selalu memberi arti ia bermakna. Aku telah memubaziri waktu dengan celaka.


Adakah satu ramuan resepmu yang boleh menumbuhkan seleraku yang patah, dinda ? Sementara sang waktu rajin menumbuk-numbuk luka itu di setiap kesempatan. Harus berhenti dimana, dinda, untuk merasakan kembali gayutan lenganmu yang menghangatkan ? Meski halte-halte kosong itu bosan menunggu, lampu trafic light di setiap persimpangan tak pernah lagi hijau. Aku semakin sulit mengusir dingin yang menyusup kamar kita meski segundukan tenunanmu telah menyelimutiku. Tubuhku semakin bodoh menyesuaikan panasnya dengan suhu kamar.


Dengarlah gemericik air hujan yang tumpah di rerimbunan hutan, sayang. Gesekan dedaunan dan gemeretak ranting tua yang patah, karena menyangga daun kering yang berat dibasahi hujan. Dulu kau mengatakannya sebagai nyanyian alam, sambil berbisik ditelingaku agar tidak menggaduh simphoni hujan itu. Tapi kini bagiku menjadi lagu kerinduan. Hausku merindukanmu seperti haus sang pejalan, melintas padang gurun gersang, dengan nanar mentari yang terik memanggang bumi. Tanah pecah-pecah. Kerasnya hampir menyerupai cadas. Yang hancur langsung jadi debu tertiup angin. Aku bimbang, bahwa tak kan ada lagi harapan terdapatnya ceruk perigi kecil dari pecahan tanah itu yang menjadi sumber mata air. Sekalipun dalam impianku. Kerinduanku seperti banduan terhukum mati, tanpa harapan pembebasan.


Temaram suasana malam, decik musik gemericik hujan, dan suara sopran kodok bangkong di semak bakung mengantarkan lamunanku kepadamu tanpa mampu menghadirkan senyummu di benakku, meskipun hanya lewat mimpi (entah, apakah mimpipun telah terlarang), telah menjadi siksa bagi ruhaniku seutuhnya tanpa daya. Tenggelam dalam hitam gelap malam.


Sejumput doa kusampaikan, sekerat doa kupanjatkan.



hujan baru saja usai,
makhluk tanah semua merasai
bau tanah itu mengingatkan
basah air hujan itu melekatkan
angin dingin itu merindukan
malam pekat itu menakutkan
suara makhluk malam menghampakan
relung lamunan melenakan

aku memang lemah Tuhan
selemah kelopak mawar tua
yang patah tertiup angin

aku memang rapuh Tuhan,
serapuh onggokan debu di perapian
terbang disapu angin

jika tak Engkau dayakan aku
gerak apa yang mungkin masih tersisa ?



Sejenak kerinduanku menggeliat lara, memindahkan posisi rebahnya.


Semoga waktu yang tersisa tetap masih terjaga, hingga sang jiwa merasa tak ingin lagi memperpanjang masa. Kini hasrat mengukuhkan hati, melunasi janji yang sempat terpatri, lalu menanti redha sang Kekasih memanggil, ”Bertemulah para kekasih !”

Bertemulah.....!!!



Geliat lara rinduku,

-.Swamimoe.-




Tidak ada komentar: