
derap kaki malamku mengerang kaku
merenggas puing-puing kosong kalbu
derap kaki malamku mengorek kerak laraku
hingga habis tandas disetiap tungkai layu
meski sampai menggerus dasar pijak di teratak pemacu,
tetap saja deritanya tak pernah sekejap jua berlalu
Ooh kekasih,
keabadian sesal dan rasa kehilangan ku metamorfosis mencari bentuknya
meski tak kan lelah ruh menggapai segala sumber ke tepian hulu,
aku kehabisan asa impikan penawar bisa rindu.
sudah ku kunyah renyah ramuan dari tujuh dedaunan pohon-pohon kehidupan,
kuminum cairan akar dari tujuh gugusan mata air nirwana yang mengalir dengan tujuh warna
tetap saja aku dahaga
dan bisa racun lara yang tersisa semakin menggelegak di dada
warna darahnya menjadi jingga
aku terpana sesaat ketika kusangka sanggup singgahi di lain cinta
mencoba menapak mulus di landasan pacu serba suka
berharap tersedia teratak rumah kediaman bagi sukma yang lelah mengembara
tapi kini
bentuknya sungguh berbeda
tak seluruh bagian nafasku mampu menempatinya
di sebagian ruang lainnya bahkan tiada
sedangkan lorong-lorong yang tersisa
tak kumengerti bermakna
dan ktika aku membulatkan kata pada seloka
separuh tubuhku sejuk dan separuh membara
memaksanya tidak menjadikan ku perkasa
malah serasa jelajahi satu dilema raksasa
dan ketika ku terlupa kepada hal sebenarnya
maka itu menjadi dosa
dan seketika aku dibuatnya buta,
tercekam aku di derita sesal dan hina
yang gegarnya tak kalah bimbang dengan geliat nafasku
aku terengah dikejar gelisah diiris dinginnya sepi
kembaraan tanah asing ini beribu-matanya curiga
sukmaku direnggut dan tercampakan dari kumpulan,
dihempas begitu jauh dan tak sanggup mengejar kembali.
terjatuh dihamparan sunyi tak bertepi
tempat ku mati
(matahari di ufuk senja pucat pasi
sejak pagi mengambang urat-urat yang pasi
kemana lagi ku pergi ?
di lorong-lorong jalan kulihat wajah-wajah ngeri
di langit, di laut, di air yang mengalir
kulihat iras wajah ku pucat pasi)