Rabu, 14 Januari 2009

Guratan 20 : TIADA JALAN ITU



derap kaki malamku mengerang kaku

merenggas puing-puing kosong kalbu

derap kaki malamku mengorek kerak laraku

hingga habis tandas disetiap tungkai layu

meski sampai menggerus dasar pijak di teratak pemacu,

tetap saja deritanya tak pernah sekejap jua berlalu



Ooh kekasih,

keabadian sesal dan rasa kehilangan ku metamorfosis mencari bentuknya

meski tak kan lelah ruh menggapai segala sumber ke tepian hulu,

aku kehabisan asa impikan penawar bisa rindu.

sudah ku kunyah renyah ramuan dari tujuh dedaunan pohon-pohon kehidupan,

kuminum cairan akar dari tujuh gugusan mata air nirwana yang mengalir dengan tujuh warna

tetap saja aku dahaga

dan bisa racun lara yang tersisa semakin menggelegak di dada

warna darahnya menjadi jingga



aku terpana sesaat ketika kusangka sanggup singgahi di lain cinta

mencoba menapak mulus di landasan pacu serba suka

berharap tersedia teratak rumah kediaman bagi sukma yang lelah mengembara

tapi kini

bentuknya sungguh berbeda

tak seluruh bagian nafasku mampu menempatinya

di sebagian ruang lainnya bahkan tiada

sedangkan lorong-lorong yang tersisa

tak kumengerti bermakna



dan ktika aku membulatkan kata pada seloka

separuh tubuhku sejuk dan separuh membara

memaksanya tidak menjadikan ku perkasa

malah serasa jelajahi satu dilema raksasa

dan ketika ku terlupa kepada hal sebenarnya

maka itu menjadi dosa

dan seketika aku dibuatnya buta,

tercekam aku di derita sesal dan hina

yang gegarnya tak kalah bimbang dengan geliat nafasku



aku terengah dikejar gelisah diiris dinginnya sepi

kembaraan tanah asing ini beribu-matanya curiga

sukmaku direnggut dan tercampakan dari kumpulan,

dihempas begitu jauh dan tak sanggup mengejar kembali.

terjatuh dihamparan sunyi tak bertepi

tempat ku mati



(matahari di ufuk senja pucat pasi

sejak pagi mengambang urat-urat yang pasi

kemana lagi ku pergi ?

di lorong-lorong jalan kulihat wajah-wajah ngeri

di langit, di laut, di air yang mengalir

kulihat iras wajah ku pucat pasi)