Minggu, 27 Juli 2008

Guratan 19 : T E R P A S U N G

Selamat Malam, kekasih


Kembali beribu maaf kulaungkan di relung-relung kalbuku, jika di hari Minggu ini seantero jagat jiwaku penuh sesak dengan jerit kerinduannya padamu. Gaung maafku ini terus bersahutan menjadi kegelisahan dan kekhawatiran yang dalam tak berdasar. Melulu jerit-jerit ampun dan maaf yang kupintakan kepadamu, bila saja gelisah dan amuk dadaku berubah menjadi pengusik ketenangan istirahat abadimu. Bagai irama lantunan zikir ia terus berulang tiada henti memperingati hari-hari bahagia kita. Hari ini, yang memang seharusnya bahagia, mengenang ketika aku mengikrarkan ijab nikah, memancangkan cincin di jari manismu. Biarlah aku memperingatinya sendiri, menyalakan lilin-lilin penghiburku malam ini di tepi hutan sepi, sebab rerinduan ini sungguh menyiksa dengan deraan sayat-sayat rasa kehilangan dirimu yang tak lagi malu-malu mendekam di jeruji tulang-tulang igaku.


Aku sungguh merindukanmu. Setiap nada yang kudengar, setiap obyek yang ku tatap, dan setiap aroma tipis yang lalu-lalang di rambut-rambut penciumanku semua mengingatkan aku kepadamu. Sentuhan yang menyapu kulitku seakan merajam derita. Waktu tak lagi menjadi solusi kuat menyelesaikan persoalan ini. Bahkan getarnya semakin berat mengguncang dunia sunyiku di dalam rongga dada.


Entah apa yang menyebabkan aku tak mampu melepaskan sejenak bagian ingatan yang menyentak bangunan kelaraanku. Aku tak tahu mendefinisikan suasana emosi mental ku yang kelelahan. Aku tak pernah mengenal lagi beda antara tidurku yang lelap atau kehilangan makna diri. Aku betul tak paham perjalanan pengalaman di relung-relung rasaku ini....seolah pengembaraanku memasuki sebuah alam di negeri lain dan akupun enggan beranjak darinya.


Malam ini hujan selebat tumpukan batang padi yang tengah penuh. Guruh & guntur meraung di udara selepas diterangi kilatan cahaya petir... Semua penghuni hutan sintok hening bersembunyi. Sebagian darinya menghangat di liang-liang sempit akar pohon-pohon besar, dan sebagian lainnya berteduh di rerimbunan dedaunan yang rajin mengangguk-angguk kala hujan menyalaminya. Beberapa teman mungkin juga sedang mengangguk mistis di rerimbunan zikirnya, sedang lainnya bersembunyi dibalik lelap kehangatan selimutnya.


Aku duduk di tepi jendela menatap kegelapan. Diremang-remang malam itu rinai hujan tampak mabuk menari-nari. Sesekali percik embun hujan itu tempias ke wajahku ditiup angin. Ada rasa dingin dan sepi yang begitu mengigit. Dan denyut sengitnya menggulung-gulung dirongga kapiler aortaku. Sejenak kemudian aku hanyut. Dan seperti tak ada kuasa menghentikannya, ia membawaku mengarung-jerami lorong-lorong sempit dan terjal di dunia kecil ku.


Hanyut itu kadang tak bisa kucegah dan entah kenapa akhir-akhir ini seringkali ia datang dihantar rinai gerimis malam. Meski aku sembunyi berselimut, dingin itu tetap saja hadir muncul keluar dari sumsum tulangku. Andaikata ini adalah cobaan, nyata-nyata nuraniku memang selalu habis tergoda. Dan aku terus terjajah angan-angan bersamamu. Terjerumus dan berkubang di dalamnya, bertungkuslumus turut serta membangun ruang-ruang waktu permainan hidup. Aku tak mampu melepaskan diri dari arena, untuk segera menyinggahi sisimu selamanya, menemanimu menjadi saksi kelanjutan tragedi-tragedi yang seakan tak pernah usai...


Didihan limbah rinduku meracuni ketenangan malam bathinku.



Dalam dendam kesepian,
-Swamimoe.-