Jumat, 31 Agustus 2007

Guratan 8


Dear Diar,

Selamat Malam, Sayang !

Dua bulan ku coba tak menulis untukmu. Kata sebagian orang, Kutahan hasrat itu agar aku tak hanyut dalam lingkaran perasaan yang tak mampu ku kuasai. Bagi orang lain, akulah yang sengaja memelihara kesedihan ini.

Tujuh belas Agustusku bergaung di lantun gebu irama sunyi, tetapi tak urung tetap saja menghantar ingatanku pada peristiwa setahun yang lalu. Kehadiranmu di dewan Kolej Telekom, yang dengan sengaja kita hadiri karena didada tetap terselip semangat dan kecintaan kita pada tanah air, tanah kelahiran, tanah bunda mengandung, tanah dimana ayah mengajarkan bagaimana bersikap, tentang kebenaran dan kesesatan, tentang gelak dan gelut anak bangsa. Bahkan juga tanah harapan, tanah cita-cita kita yang tak mungkin lagi wujud dengan selayaknya, selamanya. Dan kini bahkan semakin jauh dari kemungkinan jasad tanahmu kembali ke tanah cita-cita itu. Apapun namanya, atas dasar keyakinan apapun, dan dengan alasan agama apapun, bagiku tetap menyakitkan. Dan sekumpulan kalimat pedas yang pernah terlontar panas ditelingaku tepat disaat peristiwa itu berlaku, sampai saat ini masih saja tak berkurang rasa ngiang panasnya, walau bergalon air kulintaskan menyapu bersih perasaan itu, namun bagiku, hanya Tuhanlah yang tahu dan hanya Tuhanlah yang mampu berbuat semua itu. Tiada sesiapapun yang mampu mencegah terjadinya semua rencanaNya itu.

. . . . . . . . . .

Tiga puluh satu Agustus aku di lamun ombak di laut keringku… tiada lagi bunyi debur dan gemericik selisir air di pantaiku, tiada lagi semilir desir angin yang menyapu polusi di udaraku, dan tiada lagi segenap kehangatanmu yang mengusir kegelisahan hari-hariku, yang menghalau galaunya gurauan waktu, mencabut sengatan rindu di setiap sisi-sisi malam yang mengganggu. Teteh, Aku sungguh-sungguh kehilanganmu ! Kehilangan yang membuat pikiran positifku terhalang dan terpasung dalam tenggang waktu yang cukup untuk mengubur personaliti.

Oow setapak lagi bulan Ramadhan itu kembali. Ia resmi akan menggenapi bulan pemasunganku sepanjang masa sepanjang zaman, dimana doa, kerinduan, kenangan, dan duka menjadi racikan sinergi hidangan yang mengisi setiap pori-pori tubuhku, membasahi setiap lajur jalur di selang aorta jantungku, selama rentang masa sahur dan berbuka, sejak dari persiapan hingga lebaran, jentik jemarimu tetap terjaga menyadarkanku kala terlelap sahur. Manis suaramu tetap merdu ditelingaku mengingatkanku berbuka kala magrib menyapa, dan selalu terjaga melantunkan doa dan ayatNya selepas Isya….

Oh ya, …
Yang tak kan pernah dapat aku lupa, kau lah yang merangkai segenap doa, sehingga menjadi harapan dan cita-cita.

Tetapi, maafkan aku dinda, jika gundukan tanahmu telah menimbun segala kepercayaan tentang harapan dan cita-cita itu, tonjolan pusaranya menjadi sandungan selaksa kati sukma ku yang selalu liar dan merdeka.

Maafkan aku, jika di tanah itu, di tanah yang kupijak ini,… kini terukir berjuta keping kenangan tentangmu, tentang kita, …dan sebidang sisa ruang kosong bagi keping-keping peristiwa yang belum lagi usai…. Keping yang tak kan pernah mengenal selesai. Keping-keping kenangan itu telah menjadi pasak yang menghujam dalam ke perut bumi, yang tersambung utuh ke rantai pengikat pergelangan-pergelanganku. Aku masih belum mampu kendalikan debur ombak dipantai kalbu yang tak beraturan itu.

Teh, telah ku coba “mewajarkan” kepercayaanku agar diterima secara sosial sehingga kehidupan boleh dilanjutkan seperti sediakala, seperti tak pernah terjadi apa-apa, seperti perputaran roda yang menyebabkan ‘aus’nya engsel pergelangan putarnya… lalu serta merta di ganti untuk menjaga kelestarian “perputaran” roda itu. Selesai. Begitu saja !! Cerita tetap berlanjut di “perputaran”, sedang selebihnya adalah asesoris yang punah. Tapi apa layak pemahaman itu, jika jiwa menjadi asesoris yang punah semata-mata demi perputaran dan perkitaran roda kehidupan ini ? Daya hidupku menolak untuk begitu.

Mungkin aku terkesima saja pada dongeng-dongeng mitos, hikayat, atau angan-angan manusia berabad tentang nilai-nilai luhur atau agama,… pada kharisma, …pada tegaknya amanah teguh semangat, …sampai pada periode ini berjuntai, … periode yang kuanggap sebagai hasutan-hasutan iblis yang membisikan kebenaran-kebenaran palsunya yang begitu nyata, logis dan tak terbantahkan… yang merasuk dalam pikiran dan keyakinan-keyakinan manusia, yang berhasil memberikan keunggulan sesaat kepada pemeluk-pemeluknya… walaupun akhirnya mereka terhenti di simpul yang tak terjelaskan, yang saling menghancurkan dan menyerah di batas kenikmatan fisik sebagai langkah ”penyelamatan”.

Aku gamang, keyakinanku goyang, sebab bagiku “perputaran” roda itulah hawa nafsu yang sepatutnya ku jihadi,… sedangkan persepsi kenyataan menawarkan makna yang bertentangan. Bagai mempertahankan tegaknya pilar penyangga ‘surga’, mereka menjaga ‘perputaran’ roda itu. Padahal peran kita adalah menjaga yang berputar. Dan bagaikan tawaf, setiap kita, hanya tenggelam dalam siklus ‘perputaran’ abadi rodanya.

Walaupun membuatku goyah, tapi masih saja kuharap semua itu adalah gelagat yang dapat kucerna dan kunikmati, seperti gelitik di kerongkongan yang sesekali membuat batuk, atau gatal yang sesekali ingin digaruk. Tanpa keistimewaan, tanpa perlu dibesar-besarkan, tak ada utopi luar biasa ataupun cita-cita palsu. Sepertimu, aku tengah belajar bersyukur, memulangkan itikad pada hakikat, kemudian menjaganya dan mengelola. That's all !

Nah, kembali padamu ! Kekasihku yang nun di lintang & bujur berbeda, kadang aku rindu percakapan kecil kita tentang laut. Berkali-kali kuingat bagaimana bidukmu menjadi sebuah bintik sebelum benar-benar hilang ditelan cakrawala, dan aku jadi betul-betul sadar bahwa lembar-lembar almanak selalu menitipkan banyak makna. Walau detak duka dan kesedihan yang kekal ‘menyetani’ kita, tapi tetap kita dicipta sebagai layar yang tak pernah berhenti menyusur perjalanan cari, menjaga segala persesuaian dan membuat perimbangan. Itu juga menjadi asesoris abadi kehidupan kita, bukan ?

Sesaat setelah keberangkatanmu dulu, aku puputkan segenggam doa tanpa limit pada angin, dan juga sematkan taburan harap tak terkira untuk dirimu, untuk kita. Lalu nanti, ketika tepat disetiap tanggal kepergianmu ini, akan selalu ingin kusampaikan kembali kepadamu, … sebetulnya kepada diri kita juga, selayang ingatan anniversary atau ulang tahun perpisahan sementara ini dengan ucapan; “Selamat melepas ikatan bendung, mengangsur kayuh menghadang tarung, menuju kehidupan abadi yang selalu didengung, di palung misteri yang penuh relung. REBUTLAH SURGA ITU !”



Semat rinduku basah semangat,
.-Swamimoe.-